SEMARANG - Aktivitas pengerukan bukit yang meresahkan warga di kawasan Taman Lele, Tambakaji, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah, kembali menuai protes keras. Pada Senin (8/12/2025), ratusan alat berat dilaporkan masih beroperasi, bahkan meluas dari area Tegalrejo hingga Puncaksari, lokasi yang sangat dekat dengan jalur Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET).
Pengerukan yang mencapai kedalaman sekitar 20 meter ini tak hanya membahayakan keselamatan warga, tetapi juga mengancam stabilitas infrastruktur negara yang krusial. Warga menduga kuat, kegiatan ini berjalan di bawah kedok izin hiburan yang disalahgunakan.

"Pengelola bilang mau bikin tempat hiburan dan hanya mengeruk tanah sekitar lima meter. Tapi faktanya dikeruk sampai 20 meter. Sedalam itu jelas membahayakan warga, " ujar salah satu perwakilan warga RW 13 Tegalrejo, Kelurahan Tambakaji, pada Senin (8/12/2025).
Perpindahan lokasi pengerukan ke Puncaksari, tepat di belakang Taman Lele dan di bawah SUTET, semakin memperkuat dugaan warga bahwa ini bukan sekadar proyek biasa, melainkan operasi tambang ilegal yang terorganisir. "Setelah Tegalrejo selesai, justru pindah ke belakang Taman Lele. Ini sudah keterlaluan, " tegasnya.
Lebih jauh, warga prihatin dengan dampak pengerukan yang merusak ekosistem perbukitan, meningkatkan risiko longsor dan banjir, serta menurunkan daya dukung tanah di kawasan yang padat penduduk.
Penelusuran lebih lanjut mengungkap adanya izin dari DPMPTSP untuk PT Taman Hiburan Rakyat Semangka (THRS) tertanggal 6 September 2023. Namun, izin tersebut murni untuk kegiatan hiburan rakyat, sama sekali tidak mencakup aktivitas pertambangan.
Pihak Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah dengan tegas menyatakan bahwa izin hiburan tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk penambangan galian C. "Izin hiburan tidak dapat dijadikan dasar untuk penambangan galian C. Semua aktivitas pengambilan tanah dan penggunaan alat berat tanpa izin pertambangan adalah ilegal, " tegas perwakilan ESDM Jateng, Jumat (22/11/2025).
Pernyataan ini menguatkan bahwa seluruh aktivitas pengerukan, pengangkutan tanah, hingga penggunaan alat berat di Tambakaji dapat dikategorikan sebagai penambangan ilegal. Ironisnya, operasi ini terus berlanhak tanpa tindakan tegas dari Pemerintah Kota Semarang, Dinas Lingkungan Hidup, maupun aparat penegak hukum.
Pelaku tambang ilegal ini terancam jerat hukum yang berat, termasuk:
1. UU Minerba No. 3 Tahun 2020
Pasal 158 menjerat pelaku dengan hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp100 miliar. Sementara itu, Pasal 161 juga mengenakan hukuman serupa bagi pihak yang menyuruh, turut serta, atau membiayai.
2. UU Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009
Pasal 98–99 mengancam pelaku dengan hukuman 3 hingga 10 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar jika kegiatan mereka menimbulkan ancaman keselamatan dan kerusakan lingkungan.
3. Pidana Umum
Tindakan yang membahayakan infrastruktur vital seperti SUTET dapat menambah pemberatan hukuman bagi para pelaku.
Warga Tegalrejo dan Puncaksari kembali menyuarakan desakan agar pemerintah segera bertindak, mencegah potensi bencana. "Ini bukan sekadar pelanggaran izin. Ini ancaman keselamatan ribuan warga. Jangan tunggu SUTET ambruk atau longsor menimbun rumah penduduk, " ujar salah satu tokoh masyarakat.
Bersama pemerhati lingkungan, warga menuntut langkah konkret: penghentian total aktivitas pengerukan, audit dan pencabutan izin PT THRS jika terbukti disalahgunakan, penutupan lokasi tambang ilegal serta penyitaan alat berat, dan rehabilitasi kawasan bukit serta pemulihan lingkungan.
Situasi darurat lingkungan di Tambakaji kini menempatkan pemerintah pada persimpangan krusial: bertindak cepat atau membiarkan ancaman semakin membesar. (Aktivis)

Updates.